Beranda | Artikel
Aqidah Al-Wala wal Bara, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 6)
Minggu, 4 November 2018

Baca pembahasan sebelumnya Aqidah Al-Wala’ wal Bara’, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 5)

Memulai Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim

Berkaitan dengan memulai mengucapkan salam kepada orang kafir dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum”, hal ini termasuk perkara yang tidak diperbolehkan. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah engkau memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Memulai mengucapkan salam kepada non-muslim hukumnya haram, tidak boleh.” (I’laamul Musaafirin, hal. 84)

Kemudian beliau rahimahullahu Ta’ala menyebutkan dalil hadits di atas. Beliau rahimahullahu Ta’ala juga menambahkan,

“Dan telah diketahui bahwa kaum muslimin itu memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi di sisi Allah Ta’ala, maka tidak selayaknya bagi mereka untuk merendahkan diri mereka sendiri di hadapan orang non-muslim dengan memulai mengucapkan salam (assalamu’alaikum) kepada mereka.” (I’laamul Musaafirin, hal. 85)

Faidah tambahan dari perkataan beliau di atas adalah tidak masalah menyebut orang kafir dengan “non-muslim” (ghairu muslim). Hal ini tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam masalah ini yang mengatakan bahwa menyebut mereka dengan “non-muslim” itu menunjukkan sikap lembek terhadap mereka. Bahkan apabila terdapat maslahat dengan menyebut “non-muslim”, lebih baik menggunakan diksi tersebut daripada diksi “kafir”.

Baca  Juga: Apakah Orang Kafir Akan Ditanya Di Alam Kubur?

Adapun memulai menyapa mereka, misalnya dengan mengucapkan “selamat datang”, “permisi”, “selamat pagi”, maka dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama melarangnya, karena hal ini termasuk dalam makna larangan mengucapkan salam dalam hadits di atas. Dan juga karena dalam mendahului menyapa itu menunjukkan pemuliaan kepada mereka [1].

Akan tetapi, wallahu Ta’ala a’lam, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah boleh, namun jika terdapat maslahat di dalamnya, misalnya dalam rangka mendakwahi mereka dengan menunjukkan akhlak yang luhur atau agar membuat mereka nyaman sehingga mau mendengarkan nasihat (dakwah) kita; atau jika terdapat maslahat bagi si muslim agar terhindar dari keburukan dan gangguan orang kafir tersebut, misalnya jika orang kafir tersebut adalah atasannya di kantor. Dan juga karena “salam” dalam hadits di atas itu hanya khusus berkaitan dengan ucapan salam (Assalamu’alaikum), bukan sekedar sapaan.

Di antara ulama yang berpendapat bolehnya hal ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Ta’ala. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala (Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 213).

Sebagaimana diperbolehkan juga megucapkan selamat kepada orang kafir ketika mendapatkan anak keturunan, atau perkara-perkara duniawi lainnya.

Menjawab atau Merespon Salam dari Non-muslim

Adapun menjawab atau merespon salam, maka dirinci dalam tiga keadaan:

Pertama, jika ucapan salamnya jelas mengucapkan “Assaamu ‘alaikum” yang artinya, “Kematian atasmu”.

Dalam kondisi ini, jawaban atau respon ucapan salam tersebut adalah “Wa’alaikum.” (yang artinya, “Kamu juga.”)

Hal ini karena dulu orang-orang Yahudi mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengucapkan,

السام عليك يا محمد

“Kematian atasmu, wahai Muhammad.”

Mereka mendoakan kematian bagi Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَحَدُهُمْ فَإِنَّمَا يَقُولُ السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi jika mengucapkan salam kepada kalian, maka salah seorang di antara mereka hanyalah mengatakan, “Assaamu ‘alaikum.” Maka jawablah, “Wa’alaikum.” (HR. Abu Dawud no. 5206, shahih)

Baca Juga: Orang Kafir Tidak Boleh Masuk Ke Masjidil Haram

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ

“Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah ‘wa’alaikum’.” (HR. Bukhari no. 6258 2163)

Kedua, jika ucapan salamnya kurang jelas terdengar, apakah mengucapkan “Assaamu ‘alaikum” atau “Assalaamu ‘alaikum”, maka kita merespon dengan mengucapkan “Wa’alaikum.”

Ketiga, jika ucapan salamnya jelas mengatakan “Assalaamu ‘alaikum”, maka dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat.

Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, kita tetap merespon dengan mengucapkan “Wa’alaikum.” Pendapat ini tampaknya merupakan fiqh yang tersebar di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, yaitu menjawab “Wa’alaikum” apa pun keadaan salam dari non-muslim yang diucapkan kepada kita.

Sebagian ulama menegaskan bolehnya menjawab dengan “Assalaamu a’laikum”, karena hal ini termasuk dalam keumuman makna ayat untuk menjawab salam sebagai bentuk penghoramatan, yaitu minimal merespon dengan ucapan salam yang semisal. Allah Ta’ala befirman,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 86)

Dzahir ayat di atas bermakna umum, yaitu siapa saja yang memberikan penghormatan kepada kita dengan ucapan salam, baik muslim atau non-muslim, maka minimal dijawab dengan yang semisal.

Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala berkata,

و الرد عليهم بـ ( و عليكم ) محمول عندي على ما إذا لم يكن سلامهم صريحا ، و إلا وجب مقابلتهم بالمثل : ( و عليكم السلام ) لعموم قوله تعالى : ( و إذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها )

“Menjawab salam mereka dengan ucapan ‘wa’alaikum’ itu aku pahami menurutku jika ucapan salam tersebut tidak jelas. Adapun jika jelas (mengucapkan “Assalaamu ‘alaikum”), maka wajib dijawab dengan yang semisal, yaitu “Wa’alaikumussalaam”, hal ini berdasarkan makna umum dari firman Allah Ta’ala … (yaitu surat An-Nisa’ ayat 86 yang telah kami kutip di atas, pen.)” (Silsilah Ash-Shahihah, 5: 241)

Pendapat inilah yang kami rasa lebih tepat dan lebih kuat dari segi hujjah. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah [2], dan sebelumnya juga dikuatkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala dalam Ahkaam Ahlu Dzimmah. Wallahu Ta’ala a’lam.

Adapun menjawab sapaan dari non-muslim, semisal mereka mengucapkan “selamat pagi”, maka diperbolehkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala berkata,

“ … akan tetapi, jika mereka mengucapkan semisal ini (yaitu, ucapan sapaan, pen.), maka kita ucapkan kepada mereka semisal dengan apa yang mereka ucapkan. Hal ini karena Islam itu datang untuk (memerintahkan) keadilan dan memberikan kepada orang lain sesuai dengan haknya.” (I’laamul Musaafirin, hal. 85)

Baca Juga: Ucapan Salam Kepada Banyak Orang Yang Terdapat Orang Kafir

Tidak Boleh Membalas dengan yang Lebih Jelek

Jika orang kafir mengatakan “Assaamu ‘alaikum” (kematian atasmu), maka kita hanya diperbolehkan menjawab dengan “Wa’alaikum” (kamu juga). Tidak boleh bagi kita untuk membalas lebih dari itu, misalnya dengan melaknat dan mencaci maki mereka.

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, “Serombongan orang Yahudi meminta ijin untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengucapkan, ‘Assaamu ‘alaikum.’”

‘Aisyah menjawab,

بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ

“Kematian atas kalian (juga) dan laknat.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegur ‘Aisyah dengan mengatakan,

يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu suka dengan lemah lembut dalam segala urusan.”

‘Aisyah mengatakan, “Tidakkah Engkau mendengar ucapan mereka?”

Rasulullah menjawab,

قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ

“Sungguh aku telah menjawab ‘wa’alaikum.’” (HR. Muslim no. 2165)

Dalam riwayat Imam Ahmad, ‘Aisyah menjawab dengan mengatakan,

السَّامُ عَلَيْكُمْ يَا إِخْوَانَ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ، وَلَعْنَةُ اللهِ وَغَضَبُهُ

“Kematian atas kalian juga, wahai saudara kera dan babi, laknat Allah atas kalian, dan dan juga murka Allah atas kalian.”

Rasulullah pun menegur ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, diamlah.”

‘Aisyah mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidakkah Engkau mendengar ucapan mereka?”

Rasulullah pun bersabda,

أَوَمَا سَمِعْتِ مَا رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ؟ يَا عَائِشَةُ، لَمْ يَدْخُلِ الرِّفْقُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَمْ يُنْزَعْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Tidakkah Engkau mendengar bahwa aku sudah merespon ucapan mereka? Wahai ‘Aisyah, tidaklah sikap lemah lembut itu terdapat dalam sesuatu, kecuali akan menghiasinya. Dan tidaklah sikap lemah lembut itu tercabut dari sesuatu, kecuali akan memperkeruhnya.” (HR. Ahmad no. 13531, shahih)

Ketika sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mendengar ucapan “Assaamu ‘alaikum” dari ahli kitab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ، أَلَا أَضْرِبُ عُنُقَهُ؟

“Wahai Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya?”

Rasulullah menjawab,

لَا إِذَا سَلَّمُوا عَلَيْكُمْ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ

“Jangan, jika mereka mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah “Wa’alaikum.”” (HR. Ahmad no. 13193, sanadnya shahih sesuai syarat Muslim)

Kesimpulan, jika ada orang kafir mengucapkan salam kepada kita dengan mengatakan “Assaamu ‘alaikum”, maka hanya boleh direspon dengan perkataan “Wa’alaikum”. Tidak boleh membalas lebih dari itu, baik dengan mendoakan laknat, murka Allah, atau mencaci maki, dan tidak boleh pula mendzalimi mereka, misalnya dengan menghilangkan nyawa mereka. [3]

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 7 Dzulhijjah 1439/ 18 Agustus 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

 

Catatan kaki:

[1] Di antara yang menegaskan terlarangnya hal ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab I’laamul Musaafiriin, hal. 85.

[2] Sebagaimana dzahir perkatan beliau di kitab I’laamul Musaafiriin, hal. 85.

[3] Pembahasan ini dapat dilihat di Silsilah Ash-Shahihah, 6: 220 karya Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala.

🔍 Artikel Puasa Ramadhan, Hukum Kawat Gigi, Mediu Malaysia, Tuntunan Bertaubat Kepada Allah Swt, Kultum Hijab


Artikel asli: https://muslim.or.id/43571-aqidah-al-wala-wal-bara-aqidah-asing-yang-dianggap-usang-bag-6.html